Please take a moment to complete this survey below
Library's collection Library's IT development CancelPaper ini berusaha mengupas tentang perubahan struktur dan bentuk Kota Solo setelah mengalami perkembangan dari masa ke masa. Metode penelitian dilakukan dengan studi pendekatan kearsipan, baik arsip primer, arsip sekunder maupun arsip fisik. Untuk arsip primer bersumber pada naskah-naskah dokumenter Jawa, seperti parintah, undang-undang, pranatan, piyagem, kakancingan, serat, gugat, penget dan babad. Untuk arsip sekunder bersumber pada buku-buku dari para ahli sejarah (Ricklefs, Lombard, Vorstensteden, Muljana, Notosusanto, Kartodirdjo dll) dan hasil riset dari para ahli sejarah arsitektur Jawa (Ronald, Ikaputra, Adishakti dll). Untuk arsip fisik bersumber dari artefak, elemen alam dan tradisi masyarakat yang diperoleh dari survey lapangan. Temuan utama dari studi morfologi Kota Solo pada tahun 1500-2000 adalah, elemen `tulang? telah tumbuh membentuk berbagai formasi, yaitu memusat, mengelompok dan organik. Elemen `daging? telah tumbuh secara horisontal, vertikal dan interestisial. Sementara elemen `darah? telah berkembang dari orang-orang pribumi (Jawa, Madura, Banjar) bertambah dengan orang-orang pendatang (Cina, Arab, India, Belanda), dengan mata pencaharian dari agricultural ke non-agricultural. Temuan penting lainnya adalah, Kota Solo tersusun oleh tiga konsep yang berlainan, yang saling tumpang tindih, yaitu konsep organik oleh masyarakat pribumi, konsep kolonial oleh masyarakat Belanda dan konsep kosmologi oleh masyarakat Keraton Jawa. Kota Solo pada tahun 1500-1750 masih berupa kota tepian sungai di Bengawan Solo, kemudian pada tahun 1750-1850 berkembang menjadi kota campuran antara kota perairan dan daratan. Sejak tahun 1850an, Kota Solo mulai meninggalkan lalu lintas sungai dan berganti ke lalu lintas daratan, sehingga menjadi kota daratan. Apalagi sejak tahun 1900an, setelah dibangun teknologi baru pada sarana transportasi dan utilitas kota, yaitu jalur rel kereta api, jalur trem, jaringan listrik dan jaringan air bersih, maka Kota Solo benar-benar telah berubah ke kota daratan, meninggalkan hiruk-pikuk kota tepian sungai yang pernah terjadi di Bengawan Solo. Pada tahun 2000an, Kota Solo mengalami permasalah kota yang umumnya juga terjadi di kota-kota besar di Indonesia, yaitu permasalahan pada lingkungan alaminya, lingkungan buatannya dan lingkungan humannya. Akumulasi permasalahan kota itu menjadikan Kota Solo pada masa-masa mendatang akan semakin memasuki masa ke arah decline, sehingga perlu dicarikan grand-design kota yang sustainable.