Novelisasi kisah hidup Y.B. Mangunwijaya dan perjuangannya untuk kaum terpinggirkan.
Seorang petani tua yang diduga mata-mata NICA ditangkap dan kemudian disiksa habis-habisan oleh tentara Republik pada tahun 1945-an. Tak ada yang membela. Semua yang melihatnya hanya terdiam, termasuk Y.B. Mangunwijaya yang saat itu menjadi Tentara Pelajar.
Kisah pilu yang diikuti serentetan peristiwa dramatis lain semasa perang kemerdekaan menjadi katalis bagi perjalanan hidupnya. Mangunwijaya akhirnya memutuskan menjadi seorang imam Katolik setelah pidato Mayor Isman pada tahun 1950 semakin menguatkan keyakinannya: rakyat yang menderita adalah para pahlawan yang juga harus dikenang.
Sepuluh tahun lebih dia menjadi pastor, arsitek, penulis, dan dosen di sebuah perguruan tinggi di Jogjakarta. Namun pada tahun kedua belas, wajah si petani tua yang merintih kehausan kembali hadir dalam rupa dan wajah lain. Akhirnya dia mengambil sebuah langkah berani, meninggalkan semua kemapanan untuk hidup bersama orang-orang pinggiran Kali Code sekaligus merintis pemukiman bagi kaum papa di sana. Sebuah keputusan yang kemudian menyeretnya ke dalam gejolak politik yang mengancam hidupnya pada tahun-tahun mendatang.
“Tolong dengar ini. Sampaikan kepada komandanmu ... Mangunwijaya tidak akan tunduk di bawah kata-kata atau perintah Danramil, Dandim, atau Gubernur sekalipun. Saya hanya tunduk pada semangat kesetiakawanan sosial dan Pancasila!” dengan lantang dia bersuara pada suatu sore berkabut di bulan Juni 1989, saat puluhan tentara mengepung dan akan mengusirnya dari tanah Kedung Ombo.
Siapa sesungguhnya petani tua yang selalu bersuara lirih “haus ... haus....” dan selalu menguatkan langkah dan tekadnya membela kalangan tertindas itu?