Ketika sudut-sudut mimpi sudah penuh oleh kegagalan, keegoisan dan nafsu, maka tak akan ada lagi ruang bagi sebuah perjuangan. Karena berjuang itu adalah proses, berjuang itu adalah bagaimana meraih dengan susah payah, berjuang itu adalah kembali ke Jalan Allah dan berjuang itu adalah mata dan tanganmu. Matamu yang payah membaca alam, tanganmu yang letih menuliskan kebaikan ….
Cahaya dan Embun, dua sahabat yang tinggal di pinggir Bandara Soekarno Hatta. Mereka sama-sama anak miskin yang tidak sekolah. Cahaya yang tuna netra sejak lahir belajar menjadi tukang kebun kepada pamannya. Ia pun bekerja pada Pak De. Setiap kali datang untuk bekerja di kebun, Cahaya selalu ditemani bacaan novel oleh Pak De dari teras. Pak De senang membacakan novel karangan Langit Jingga Tenggara. Ia terpikat dengan keindahan novel yang dibacakan Pak De. Ia jatuh cinta pada novel itu, pada penulisnya!
Cahaya mengatakan pada Embun bahwa ia ingin jadi penulis, ingin bertemu Langit Jingga Tenggara. Embun mengejek cita-cita Cahaya. Bagaimana mungkin seorang tunanetra bisa jadi penulis? Oleh Pakde, Cahaya dikenalkan dengan Pak Ibrahim yang memiliki perpustakaan braille. Mulailah warna baru dalam dunia Cahaya.
Berhasilkah Cahaya mewujudkan mimpinya menjadi penulis? Apakah ia akhirnya bertemu dengan Langit Jingga Tenggara?