Sukarni, menurut penentuan Negara, telah memajukan Proklamasi 72 jam, menentukan dua nama pada Naskah Proklamasi, serta menggerakkan pemuda di Lapangan Ikada. Perjuangannya—sejak zaman Belanda, zaman Republik, maupun saat menjabat sebagai Dubes RRT dan Mongolia—serta pergulatannya di bidang politik selalu ia lakukan tanpa pamrih dan rasa lelah. Ia merupakan sosok yang percaya pada diri sendiri dan rida Tuhan, produktif, juga setia pada Nusa Bangsa Indonesia. Pemikirannya tentang nasionalisme telah menembus waktu sejak 1930, saat ia masih berusia 14 tahun.
Sukarni Kartodiwirjo lahir pada tanggal 14 Juli 1916 di Desa Sumberdiran, Garum, Blitar Jawa Timur. Ayah Sukarni bernama Dimoen Kartodiwirjo, yang merupakan keturunan Eyang Onggo, yaitu juru masak Pangeran Diponegoro. Sementara ibu Sukarni bernama Supiah, seorang gadis asal Kediri. Keseharian orang tua Sukarni berdagang di Pasar Garum, Blitar, dan termasuk keluarga berada di zaman itu. Sukarni Kartodiwirjo merupakan tokoh sentral dalam peristiwa Detik-detik Proklamasi 17 Agustus 1945. Namanya sering disebut ketika membahas Peristiwa Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945. Dalam peristiwa itu, Sukarni adalah golongan muda yang berani menculik Soekarno dan Mohammad Hatta. Tujuan penculikan itu tidak lain adalah agar kedua tokoh tua itu segera memproklamasikan kemerdekaan menyusul kekalahan Jepang dalam Perang Asia Timur Raya.